Cinta Sederhana Buat Hidupku Bahagia
mohhammadnoer.com - Minggu pertama setelah pernikahan kami, tidak banyak masalah berarti. Layaknya pengantin baru, suamiku berusaha romantis. Aku senang. Tetapi, semuanya berakhir saat masa cuti kerjanya berakhir.
Seperti biasa, suamiku siap-siap dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan satu kata atau anggukkan kepala, itu pun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Padahal, aku sudah berjam-jam menunggunya untuk bercerita.
Begitulah, selama tiga tahun aku berusaha mengerti dan menerimanya. Namun kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncak. Aku izin ke rumah ibu. Ku kirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru ku terima jawabannya. ‘’Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.’’ Itulah isi balasan SMS yang dikirim satu jam kemudian. Rapat, presentasi, laporan keuangan menjadi saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati adikku. Ku hempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mata, samar-samar aku dengar ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas. ‘’Kenapa Ning? Ada masalah dengan suamimu?’’ Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ‘’Ning, mungkin semua ini salah ibu dan bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu,’’ kata ibuku.
Belum sempat bicara, ibuku kembali berkata, ‘’Cobalah, pikirkan baik-baik. Apa kekurangan suamimu? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Suamimu itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada ibu dan bapak. Tidak semua suami seperti dia, Ning. Banyak orang yang dizholimi suaminya.’’
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan ibu. ‘’Tapi bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumahtangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali. Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan ibu,’’ kataku kepada ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan suamiku? Hampir tidak ada. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Bahkan selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan.
Tak hanya itu, suamiku juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Adiknya satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana suamiku itu bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Ia tidak pernah meladeni ajakan perempuan lain yang tidak bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
‘’Kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan suamimu yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur.’’ Ibu berkata tenang. Aku memandang ibu. Perkataan ibu benar-benar menohokku. ‘’Ya, ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Padahal sudah beberapa hari ini aku melihat istri tetanggaku stres karena suaminya sering memukuli dan berselingkuh, sementara aku memiliki suami yang demikian baik,’’ jawabku.
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadwalnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran suamiku lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam 19.00 malam, ia belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Dua jam kemudian, aku hanya menerima smsnya. ‘’Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai.’’ Makanan di meja sudah dingin.
Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu. Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 23.00 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di atas meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Suamiku tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya. Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Sumber : pekanbarumx.co
Seperti biasa, suamiku siap-siap dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan satu kata atau anggukkan kepala, itu pun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Padahal, aku sudah berjam-jam menunggunya untuk bercerita.
Begitulah, selama tiga tahun aku berusaha mengerti dan menerimanya. Namun kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncak. Aku izin ke rumah ibu. Ku kirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru ku terima jawabannya. ‘’Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.’’ Itulah isi balasan SMS yang dikirim satu jam kemudian. Rapat, presentasi, laporan keuangan menjadi saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati adikku. Ku hempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mata, samar-samar aku dengar ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas. ‘’Kenapa Ning? Ada masalah dengan suamimu?’’ Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ‘’Ning, mungkin semua ini salah ibu dan bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu,’’ kata ibuku.
Belum sempat bicara, ibuku kembali berkata, ‘’Cobalah, pikirkan baik-baik. Apa kekurangan suamimu? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Suamimu itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada ibu dan bapak. Tidak semua suami seperti dia, Ning. Banyak orang yang dizholimi suaminya.’’
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan ibu. ‘’Tapi bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumahtangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali. Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan ibu,’’ kataku kepada ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan suamiku? Hampir tidak ada. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Bahkan selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan.
Tak hanya itu, suamiku juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Adiknya satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana suamiku itu bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Ia tidak pernah meladeni ajakan perempuan lain yang tidak bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
‘’Kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan suamimu yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur.’’ Ibu berkata tenang. Aku memandang ibu. Perkataan ibu benar-benar menohokku. ‘’Ya, ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Padahal sudah beberapa hari ini aku melihat istri tetanggaku stres karena suaminya sering memukuli dan berselingkuh, sementara aku memiliki suami yang demikian baik,’’ jawabku.
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadwalnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran suamiku lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam 19.00 malam, ia belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Dua jam kemudian, aku hanya menerima smsnya. ‘’Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai.’’ Makanan di meja sudah dingin.
Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu. Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 23.00 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di atas meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Suamiku tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya. Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Sumber : pekanbarumx.co
Posting Komentar untuk "Cinta Sederhana Buat Hidupku Bahagia"